Karakter orang Asia yang tekun dan pekerja keras membuat pretasi belajar
di kawasan ini relatif tinggi. Namun harga yang harus dibayar untuk
prestasi tersebut adalah tingginya tingkat kerusakan mata, khususnya
rabun jauh atau myopi.
Saat ini, diperkirakan 80-90 persen
pelajar di Asia di beberapa kota besar di Asia menderita myopi atau
rabun jauh dan harus menggunakan kacamata minus. Sebagian besar di
antaranya berada di kawasan Asia Timur seperti Jepang, China dan Korea
Selatan.
Bahkan menurut perkiraan tersebut, 10-20 pelajar yang
mengalami myopi sudah bisa dikategorikan parah dan berisiko mengalami
kebutaan permanen.
Dalam sebuah tulisan di jurnal Lancet, Prof Ian Morgan dari Australian National University
mengatakan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah faktor pendidikan.
Budaya pekerja keras di kalangan masyarakat Asia membuat para
pelajarnya cenderung belajar terlalu rajin.
"Peningkatan kasus
myopi di Asia mungkin berhubungan dengan peningkatan intensitas
pendidikan. Apalagi belakangan ini, Asia Timur selalu mendominasi
peringkat internasional dalam hal prestasi belajar," tulis Prof Morgan
seperti dikutip dari Dailymail, Jumat (4/5/2012).
Saat
belajar, para pelajar tanmpa sadar cenderung membaca dalam jarak yang
terlalu dekat agar posisinya lebih enak. Padahal jika dilakukan terus
menerus, maka lensa mata akan melemah sehingga gampang terkena myopi
atau sulit melihat obyek di kejauhan.
Selain itu, kurangnya
aktivitas di luar ruang diyakini juga mempengaruhi tingginya tingkat
rabun jauh atau myopi di kalangan para pelajar Asia. Seperti yang pernah
diberitakan detikhealth sebelumnya, jarang kena sinar matahari bisa membuat mata rentan mengalami kerusakan.
Penelitian
pada binatang menunjukkan, paparan cahaya matahari yang cukup bisa
menjaga kesehatan mata karena dapat meningkatkan dopamin di retina.
Senyawa ini dapat diyakini mengurangi risiko myopi seperti yang telah
dibuktikan pada primata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar